Jumat, 28 Desember 2012

Pendidik Dalam Pendidikan Islam




Makalah

Pendidik Dalam Pendidikan Islam




Dosen Pengampu:
Basri, M.Ag

Disusun Oleh:
1. Joni Kawijaya
2. Veny Yunita
3. Putri Wulandari
4. Ratna Sari
5. Siti Latifah




SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

STAIN JURAI SIWO METRO
Tp. 2012/2013



KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dalam bentuk karya tulis dengan judul “Pendidik Dalam Pendidikan Islam”.
Makalah ini kami susun dalam rangka memenuhi tugas dan sebagai sarana penunjang belajar. Dengan adanya makalah ini kita sedikitnya dapat mengerti atau memahami tentang pendidik dalam pendidikan islam yang terdiri dari bagaimana harusnya pendidik itu, bagaimana tugas dan tanggung jawabnya, apa hak-haknya dan yang terpenting apa saja kode etik yang harus di jalankan sehingga dapat menjadi pendidik yang sesuai dengan kriteria pendidik dalam pendidikan islam. Sehingga nantinya kita dapat meningkatkan kegiatan belajar dengan berbagai kegiatan yang merupakan pengembangan dari materi ini.
Pada kesempatan kali ini kami berterima kasih kepada Bapak Basri, M.Ag selaku dosen pengampu yang telah membimbing kami selama ini, dan kepada teman kelompok yang andil dalam pembuatan makalah ini. Sungguh kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat kekurangan dan kekhilafan. Oleh karena itu, kami berharap jika ada kritikan atau saran hendaklah yang baik dan membangun untuk menyempurnakan dari makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

Metro, 24 September 2012


Kelompok 4
 


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Dalam konteks pendidikan islam, pendidik sering di sebut dengan murabbi, mu’alim, mu’adib, mudarris, dan mursyid. Kelima kata tersebut mempunyai tempat tersendiri menurut peristilahan yang di pakai di pendidikan dalam konteks islam. Di samping itu pendidik kadang kala di sebut melalui gelarnya, seperti istilah ustadz dan al-syakh.
Pendidik merupakan komponen utama dalam perkembangan ilmu pengetahuan, yang akan menanamkan, mengarahkan nilai-nilai serta memberikan pengertian yang benar terhadap ilmu pegetahuan yang di sampaikan kepada peserta didik. Untuk itu maka pendidik harus memiliki beberapa kriteria atau karakter sebagai suatu contoh yang patut untuk di tiru dan menjadi suri tauladan bagi peserta didik.

B.     Rumusan Masalah
1.      Definisi Pendidik dalam Pendidikan Islam
2.      Keutamaan Pendidik dalam Pendidikan Islam
3.      Jenis Pendidik
4.      Tugas Dan Tanggung jawab Pendidik
5.      Hak-hak Pendidik
6.      Kode Etik Pendidik dalam Pendidikan Islam




BAB II
PEMBAHASAN

A.     Definisi Pendidik
Pandangan Islam tentang definisi pendidik sama halnya dengan teori barat, yaitu orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didiknya dengan upaya mengembangkan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif (rasa), kognitif (cipta), maupun psikomotorik (karsa).[1]
Pendidik berarti juga orang dewasa yang bertanggung jawab memberi pertolongan pada peserta didiknya dalam perkembangan jasmani dan rohaninya, agar tercapai tingkat kedewasaanya, mampu mandiri dalam memenuhi tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah SWT, da mampu melaksanakan tugas sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk individu yang mandiri.[2]
Pendidik pertama dan utama adalah orang tua sendiri. Mereka berdua yang bertanggung jawab penuh atas kemajuan perkembangan anak kandungnya, karena sukses tidaknya anak sangat tergantung pengasuhan, perhatian, dan pendidikanya yang mana kesuksesan anak kandung itulah merupakan cerminan kesuksesan orang tuanya.
   
Sebagai pendidik yang pertama dan utama terhadap anak-anaknya, orang tua tidak selamanya memiliki waktu yang leuasa dalam mendidik anak-anaknya. Selain karena kesibukan kerja, tingkat efektivitas dan efisiensi pendidikan tidak akan baik jika pendidikan hanya di kelola secara alamiah.
Secara lazim anak di masukkan ke dalam lembaga sekolah, yang karenanya definisi pendidik di sini adalah mereka yang memberikan pelajaran kepada peserta didik yang memegang suatu mata pelajaran tertentu di sekolah. Penyerahan peserta didik ke lembaga bukan berarti melepaskan tanggung jawab orang tua sebagai pendidik yang pertama dan utama, tetapi orang tua juga mempunyai saham yang besar dalam membina dan mendidik anak kandungnya.

B.     Keutamaan Pendidik
Manusia memerlukan belajar dari proses pendidikan. Tentu saja hal ini memberikan transparansi kepada kita bahwa pendidikan sangatlah kita butuhkan sebagai pencapaian intelligence afektif, kognitif and psikomotorik for humanities, yang akan terwujud apabila adanya seorang pengajar dalam proses pendidikan.
Pada ajaran islam, penghargaan islam yang sangat tinggi terhadap guru. Begitu tingginya penghargaan itu sehingga menempatkan kedudukan guru setingkat di bawah kedudukan Nabi dan Rasul. Karena guru selalu terkait dengan ilmu (pengetahuan), sedangkan islam amat mempengaruhi pengetahuan. Sebenarnya tingginya kedudukan guru dalam islam merupakan realisasi ajaran Islam itu sendiri. Islam memuliakan pengetahuan. Pengetahuan itu di dapat dari belajar dan mengajar yang belajar adalah calon guru dan yang mengajar adalah guru.

C.    Jenis-jenis Pendidik
Menurut Ramayulis, pendidik dalam pendidikan islam setidaknya ada empat macam, yaitu:
1.      Allah SWT sebagai pendidik bagi hamba-hamba dan sekalian makhluk-Nya.
2.      Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya telah menerima wahyu dari Allah kemudian bertugas untuk menyampaikan petunjuk-petunjuk yang ada di dalamnya kepada seluruh manusia.

3.      Orang tua sebagai pendidik dalam lingkungan keluarga bagi anak-anaknya.
4.      Guru sebagai pendidik di lingkungan pendidikan formal, seperti di sekolah atau madrasah. Namun pendidik yang lebih banyak dibicarakan dalam pembahasan ini adalah pendidik dalam bentuk yang keempat.

D.    Tugas Pendidik Dalam Pendidikan Islam
Menurut al Ghazali, tugas pendidik yang pertama adalah menyempurnakan, menyucikan, serta membawakan hati manusia untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT. Hal tersebut kare tujuan pendidikan islam yang utama adalah untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Jika pendidik belum mampu membiasakan diri dalam peribadatan pada peserta didiknya maka ia mengalami kegagalan dan tugasnya, sekalipun peserta didiknya memiliki prestasi akademis yang luar biasa. Hal itu mengandung arti antara ilmu dan amal shaleh.[3]
Dalam perkembangan berikutnya, paradigma pendidik tidak hanya bertugas sebagai pengajar, yang mendoktrin peserta didiknya untuk menguasai seperangkat pengetahuan dan skill tertentu. Pendidik hanya bertugas sebagai motivator dan fasilitator dalam proses belajar mengajar. Keaktifan sangat pada peserta didiknya sendiri, sekalipun keaktifan itu akibat dari motivasi dan pemberian fasilitas dari pendidiknya. Seorang pendidik di tuntut mampu untuk memainkan peranan dan fungsinya dalam menjalankan tugas keguruanya.
Hal ini akan menghindari benturan fungsi dan peranannya, sehingga pendidik bisa menempatkan kepentingan sebagai individu, anggota masyarakat, warga negara, dan pendidik sendiri. Antara tugas keguruan dan tugas lainya harus di tempatkan menurut proporsinya.
Kadang kala seseorang terjebak dengan sebutan pendidik, misalnya ada sebagian orang yang mampu memberikan dan memindahkan ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) kepada orang lain sudah dikatakan sebagai pendidik.
Sesungguhnya seorang pendidik bukanlah bertugas itu saja, tetapi pendidik juga bertanggung jawab atas pengelolaan (manager of learning), pengarah (director of learnig), fasilitator, dan perencana (the planner of future society).
Oleh karena itu, fungsi dan tugas pendidik dalam pendidikan dapat di simpulkan menjadi tiga bagian:
1.      Sebagai pengajar (instruksional), yang bertugas merencanakan program pengajaran dan melaksanakan program yang telah disusun serta mengakhiri dengan pelaksanaan dengan penilaian setelah program di lakukan.
2.      Sebagai pendidik (educator), yang mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaan dan kepribadian kamil seiring dengan tujuan Allah SWT menciptakanya.
3.      Sebagai pemimpin (managerial), yang memimpin, mengendalikan diri sendiri, peserta didik dan masyarakat yang terkait, terhadap berbagai masalah yang menyangkut upaya pengarahan, pengawasan, dan pengorganisasian, pengontrolan, dan partisipasi atas program pendidikan pendidikan yang dilakukan.[4]

Dalam tugas itu, seorang pendidik di tuntut untuk mempunyai seperangkat prinsip keguruan. Prinsip keguruan itu dapat berupa:
a)      Kegiatan dan kesediaan untuk mengajar seperti memperhatikan kesediaan, kemampuan, pertumbuhan, dan perbedaan peserta didik.
b)      Membangkitkan gairah peserta didik.
c)      Menumbuhkan bakat dan sikap peserta didik yang baik.
d)     Mengatur proses belajar mengajar yang baik.
e)      Memperhatikan perubahan-perubahan kecenderungan yang mempengaruhi proses mengajar.
f)       Adanya hubungan manusiawi dalam proses belajar mengajar.[5]
Berdasarkan tugas-tugasnya pendidik tidak hanya melibatkan kemamapuan kognitif, tetapi juga kemampuan afektif dan psikomotorik. Profesionalisme pendidik sangat di tentukan oleh seberapa banyak tugas yang telah di lakukan sekalipun terkadang profesionalisme itu tidak berimplikasi yang signifikan terhadap penghargaan yang di perolehnya.
E.     Tanggung Jawab Pendidik
Sebagai mana disebutkan oleh Abd al-Rahman al-Nahlawi tanggung jawab pendidik adalah, mendidik individu supaya beriman kepada Allah dan melaksanakan syariat-Nnya, mendidik diri supaya beramal saleh, dan mendidik masyarakat untuk saling menasehati dalam melaksanakan kebenaran, saling menasehati agar tabah dalam menghadapi kesusahan beribadah kepada Allah serta menegakkan kebenaran. Tanggung jawab itu bukan hanya sebatas tanggung jawab moral seorang pendidik terhadap peserta didik, akan tetapi lebih jauh dari itu. Karena luasnya ruang lingkup tanggung jawab pendidikan Islam, maka orang tua memiliki keterbatasan dalam mendidik anak. Tanggung jawab tersebut diamanahkan kepada pendidik yang berada di sekolah.

F.     Hak Pendidik.
Pendidik bukan hanya memiliki tugas dan tanggung jawab yang harus di emban, akan tetapi pendidik juga mempunyai hak-hak, seperti:
1.      Memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan social.
2.      Mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja.
3.      Memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual.
4.      Memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi.
5.      Memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas keprofesionalan.
6.      Memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan.
7.      Memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam menjalankan tugas.
8.      Memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi.
9.      Memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan.
10.  Memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatan kualifikasi akademik dan kompetensi.
11.  Memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam bidangnya.

G.    Kode Etik Pendidik Dalam Pendidikan Islam
Kode etik ialah norma-norma yang mengatur hubungan kemanusiaan antara pendidik dan peserta didik, orang tua peserta didik, serta dengan atasanya. Suatu jabatan yang elayani orang lain selalu memerlukan kode etik. Demikian jabatan sebagai pendidik wajib mempunyai kode etik tertentu yang harus di kenal dan dilaksanakan oleh setiap pendidik.
Bentuk kode etik suatu lembaga itu tidaklah harus sama, tetapi secara intrinsik mempunyai kesamaan konten yang berlaku umum. Pelanggaran kode etik akan mengurangi nilai dan kewibawaan identitas pendidik.
Menurut Ibn Jama’ah, yang di kutip oleh Abd al-Amir Syams al-Din, etika pendidik terbagi atas tiga macam, yaitu:
1.      Etika yang terkait dengan dirinya sendiri. Pendidik ini paling tidak memiliki dua etika, yaitu:
a.       Memiliki sifat keagamaan (diniyyah) yang baik, yang meliputi patuh dan tunduk terhadap syariat Allah dalam bentuk ucapan dan tindakan, baik yang wajib maupun yang sunnah, seperti: senantiasa membaca Al-Quran, dzikir kepada-Nya, baik dengan hati maupun lisan, menjaga prilaku lahir dan bathin.
b.      Memiliki sifat-sifat akhlak yang mulia, (akhlaqiyyah) serta menghias diri (tahali) dengan memelihara diri, khusu’, rendah hati, menerima apa adanya, zuhud dan memiliki daya dan hasrat yang kuat.
2.      Etika terhadap peserta didiknya. Pendidik dalam bagian ini paling tidak memiliki dua etika, yaitu:
a.       Sifat-sifat sopan santun dan beradab (adabiyyah), yang terkait dengan akhlaq yang mulia seperti diatas.
b.      Sifat-sifat memudahkan, menyenangkan dan menyelamatkan
(muhniyyah).
3.      Etika dalam proses belajar mengajar. Juga mempunyai dua etika, yaitu:
a.       Sifat-sifat memudahkan, menyenangkan dan menyelamatkan
(muhniyyah).
b.      Sifat-sifat seni, yaitu seni mengajar yang menyenangkan, sehingga peserta didik tidak merasa bosan.[6]

Dalam merumuskan kode etik, al-Ghazali lebih menekankan betapa berat kode etik yang di perankan seorang pendidik daripad peserta didiknya. Kode etik pendidik terumuskan sebanyak 17 bagian, sementara kode etik peserta didik hanya 11 bagian, dikarenakan guru dalam hal ini menjadi segala-galanya, yang tidak saja menyangkut keberhasilanya dalam menjalankan profesi keguruanya, tetapi juaga tanggung jawab di hadapan Allah SWT kelak.
Adapun kode etik yang di maksud adalah:
a.      Menerima segala problem peserta didiknya dengan hati dan sikap terbuka dan tabah.
b.      Bersikap penyantun dan penyayang (QS Ali-Imran: 159).
c.       Menjaga kewibawaan dan kehormatanya dalam bertindak.
d.      Menghindari dan menghilangkan sikap angkuh terhadap sesama.
e.       Bersikap rendah hati ketika menyatu bersama sekelompok masyarakat.
f.       Menghilangkan aktivitas yang tidak berguana dan sia-sia.
g.      Bersifat lemah lembut dalam menghadapi peserta didik yang tingkat IQ-nya rendah, serta membinanya sampai pada taraf maksimal.
h.      Menigngalkan sifat marah dalam menghadapi problem peserta didiknya.
i.        Memeperbaiki sifat peserta didiknya dan bersikap lemah lembut terhadap peserta didik yang kurang lancar bicaranya.
j.        Meninggalkan sifat yang menakutkan pada peserta didik, terutama pada peserta didik yang belum mengerti atau mengetahui.
k.      Berusaha memperhatiakan pertanyaan-pertanyaan peserta didik, walaupun pertanyaanya itu tidak bermutu dan tidak sesuai dengan masalah yang di ajarkan.
l.        Menerima kabenaran yang di ajukan oleh peserta didiknya.
m.    Menjadikan kebenaran sebagai acuan dalam proses pendidikan, walaupun kebenaran itu datangnya dari peserta didik.
n.      Mencegah dan mengontrol peserta didik mempelajari ilmu yang membahayakan. (QS Al-Baqarah: 195).
o.      Menanamkan sifat ikhlas pada peserta didik serta terus-menerus mencari informasi guna disampaikan pada peserta didik  yag akhirnya mencapai tingkat taqarrub kepada Allah SWT. (QS Al-Bayyinah: 5).
p.      Mencegah peserta didik mempelajari ilmu fardhu kifayah sebelum mempelajari ilmu fardhu ‘ain.
q.      Mengaktualisasi informasi yang di ajarkan pada peserta didik.[7]
Dalam bahasa yang berbeda, Muhammad Athiyah Al-Abrasy menentukan kode etik pendidik dalam pendidikan islam sebagai berikut:
1)      Mempunyai watak pendidik (orang tua) sebelum menjadi seorang pandidik, sehingga ia menyayangi peserta didiknya seperti menyayangi anakanya sendiri.
2)      Adanya komunikasi yang aktif antara pendidik dan peserta didik. Pola komunikasi dalam interaksi dapat di terapkan ketika terjadi proses belajar mengajar. Pola komunikasi dalam pendidikan dapat dilakukan dengan tiga macam, yaitu: komunikasi sebagai aksi (intraksi searah), komunikasi sebagai interaksi (interaksi dua arah) dan komunikasi sebagai transaksi (interaksi multiarah). Tentunya untuk mewujudkan tujuan pendidikan islam yang maksimal harus digunakan komunikasi yang transaksi, sehingga suasana belajar menjadi lebih aktif antara pendidik dan peserta didik, antara peserta didik dan pendidik, dan antar peserta didik.
3)      Memelihara kemampuan dan kondisi peserta didiknya. Pemberian materi pelajaran harus diukur dengan kadar kemampuannya.
4)      Mengetahui kepentingan bersama, tidak terfokus pada sebagian peserta didik, misalnya hanya memprioritaskan anak yang ber-IQ tinggi.
5)      Mempunyai sifat keadilan, kesucian, dan kesempurnaan.
6)      Iklas dalam menjalankan aktifitasnya, tidak hanya menuntut hal yang diluar kewajibannya.
7)      Dalam mengajar supaya mengaitkan materi satu dengan materi yang lainnya (menggunakan pola integrited curriculum)
8)      Memberi bekal peserta didik dengan ilmu yang mengacu pada masa depan, karena ia tercipta berbeda dengan zaman yang dialami oleh pendidiknya.
9)      Sehat jasmani dan rohani serta mempunyai kepribadian yang kuat, tanggung jawab, dan mampu mengatasi problem peserta didik, serta mempunyai rencana yang matang untuk menatap masa depan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.
 

BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan

Dari pemaparan materi diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa pendidik adalah komponen yang sangat penting atau komponen utama yang harus ada dalam sistem pendidikan, karena ia yang mengantrakan peserta didik pada tujuan yang telah ditentukan, bersama komponen-komponen lain yang terkait. Pendidik mempunyai kedudukan yang amat mulia, maka dari itu ia dijadikan sosok yang dapat memberikan contoh bagi peserta didik baik dari tingkah laku, maupun sifatnya, serta membimbing dan memotivasi anak didiknya agar dapat menyongsong masa depan yang lebih baik.

B.     Saran
Dari makalah ini dapat kita jadikan sebuah acuan, bahwa kita adalah calon guru yang nantinya akan mendidik peserta didik. Untuk itu mari kita bersikap, berprilaku, dan membiasakan bersifat yang baik sesuai dengan yang di contohkan oleh nabi kita Muhammad SAW sehingga dapat menjadi contoh yang baik pula bagi anak atau peserta didik kita nantinya.

DAFTAR PUSTAKA
Mujib, Abdul, dkk. 2010. Ilmu Pendidika Islam. (Jakarta: Kencana)
Tafsir, Ahmad. 1992. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. (Bandung: Remaja Rosdakarya)
Darajat, Zakiah. 1980. Kepribadian Guru. (Jakarta: Bulan Bintang)


[1] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992), hal. 74-75
[2] Prof. Dr. Abdul Mujib, MAg. dkk. Ilmu Pendidika Islam. (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 87.
[3] Prof. Dr. Abdul Mujib, MAg. dkk. Ilmu Pendidika Islam. (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 90
[4] Prof. Dr. Abdul Mujib, MAg. dkk. Ilmu Pendidika Islam. (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 91
[5] Zakiah Darajat, Kepribadian Guru. (Jakarta: Bulan Bintang, 1980). Hal. 22
[6] Prof. Dr. Abdul Mujib, MAg. dkk. Ilmu Pendidika Islam. (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 98
[7] Prof. Dr. Abdul Mujib, MAg. dkk. Ilmu Pendidika Islam. (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 100

1 komentar: