Makalah
Dosen Pengampu:
Basri, M.Ag
Disusun Oleh:
1. Joni Kawijaya
2. Veny Yunita
3. Putri Wulandari
4. Ratna Sari
5. Siti Latifah
2. Veny Yunita
3. Putri Wulandari
4. Ratna Sari
5. Siti Latifah
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
STAIN JURAI SIWO METRO
Tp. 2012/2013
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas
segala rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
dalam bentuk karya tulis dengan judul “Pendidik Dalam Pendidikan Islam”.
Makalah ini kami susun dalam rangka memenuhi tugas dan
sebagai sarana penunjang belajar. Dengan adanya makalah ini kita sedikitnya dapat
mengerti atau memahami tentang pendidik dalam pendidikan islam yang terdiri
dari bagaimana harusnya pendidik itu, bagaimana tugas dan tanggung jawabnya,
apa hak-haknya dan yang terpenting apa saja kode etik yang harus di jalankan
sehingga dapat menjadi pendidik yang sesuai dengan kriteria pendidik dalam
pendidikan islam. Sehingga nantinya kita dapat meningkatkan kegiatan belajar
dengan berbagai kegiatan yang merupakan pengembangan dari materi ini.
Pada kesempatan kali ini kami berterima kasih kepada
Bapak Basri, M.Ag selaku dosen pengampu yang telah membimbing kami
selama ini, dan kepada teman kelompok yang andil dalam pembuatan makalah ini. Sungguh kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih
terdapat kekurangan dan kekhilafan. Oleh karena itu, kami berharap jika ada
kritikan atau saran hendaklah yang baik dan membangun untuk menyempurnakan dari
makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
Metro,
24 September 2012
Kelompok
4
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam konteks pendidikan islam,
pendidik sering di sebut dengan murabbi, mu’alim, mu’adib, mudarris, dan
mursyid. Kelima kata tersebut mempunyai tempat tersendiri menurut peristilahan
yang di pakai di pendidikan dalam konteks islam. Di samping itu pendidik kadang
kala di sebut melalui gelarnya, seperti istilah ustadz dan al-syakh.
Pendidik merupakan komponen utama
dalam perkembangan ilmu pengetahuan, yang akan menanamkan, mengarahkan
nilai-nilai serta memberikan pengertian yang benar terhadap ilmu pegetahuan
yang di sampaikan kepada peserta didik. Untuk itu maka pendidik harus memiliki
beberapa kriteria atau karakter sebagai suatu contoh yang patut untuk di tiru
dan menjadi suri tauladan bagi peserta didik.
B.
Rumusan Masalah
1. Definisi Pendidik dalam Pendidikan Islam
2. Keutamaan Pendidik dalam Pendidikan Islam
3. Jenis Pendidik
4. Tugas Dan Tanggung jawab Pendidik
5. Hak-hak Pendidik
6. Kode Etik Pendidik dalam Pendidikan Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Pendidik
Pandangan Islam tentang definisi pendidik sama halnya
dengan teori barat, yaitu orang-orang yang bertanggung jawab terhadap
perkembangan peserta didiknya dengan upaya mengembangkan seluruh potensi
peserta didik, baik potensi afektif (rasa), kognitif (cipta), maupun psikomotorik
(karsa).[1]
Pendidik berarti juga orang dewasa yang bertanggung jawab memberi pertolongan pada peserta didiknya dalam perkembangan jasmani dan
rohaninya, agar tercapai tingkat kedewasaanya, mampu mandiri dalam memenuhi
tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah SWT, da mampu melaksanakan tugas
sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk individu yang mandiri.[2]
Pendidik pertama dan utama adalah
orang tua sendiri. Mereka berdua yang bertanggung jawab penuh atas kemajuan
perkembangan anak kandungnya, karena sukses tidaknya anak sangat tergantung
pengasuhan, perhatian, dan pendidikanya yang mana kesuksesan anak kandung
itulah merupakan cerminan kesuksesan orang tuanya.
Sebagai pendidik yang pertama dan
utama terhadap anak-anaknya, orang tua tidak selamanya memiliki waktu yang
leuasa dalam mendidik anak-anaknya. Selain karena kesibukan kerja, tingkat
efektivitas dan efisiensi pendidikan tidak akan baik jika pendidikan hanya di
kelola secara alamiah.
Secara lazim anak di masukkan ke
dalam lembaga sekolah, yang karenanya definisi pendidik di sini adalah mereka
yang memberikan pelajaran kepada peserta didik yang memegang suatu mata pelajaran
tertentu di sekolah. Penyerahan peserta didik ke lembaga bukan berarti
melepaskan tanggung jawab orang tua sebagai pendidik yang pertama dan utama,
tetapi orang tua juga mempunyai saham yang besar dalam membina dan mendidik
anak kandungnya.
B.
Keutamaan
Pendidik
Manusia memerlukan belajar dari proses pendidikan. Tentu saja hal ini
memberikan transparansi kepada kita bahwa pendidikan sangatlah kita butuhkan
sebagai pencapaian intelligence afektif, kognitif and psikomotorik for
humanities, yang akan terwujud apabila adanya seorang pengajar dalam proses
pendidikan.
Pada ajaran islam, penghargaan islam yang sangat tinggi terhadap guru.
Begitu tingginya penghargaan itu sehingga menempatkan kedudukan guru setingkat
di bawah kedudukan Nabi dan Rasul. Karena guru selalu terkait dengan ilmu
(pengetahuan), sedangkan islam amat mempengaruhi pengetahuan. Sebenarnya
tingginya kedudukan guru dalam islam merupakan realisasi ajaran Islam itu
sendiri. Islam memuliakan pengetahuan. Pengetahuan itu di dapat dari belajar
dan mengajar yang belajar adalah calon guru dan yang mengajar adalah guru.
C.
Jenis-jenis
Pendidik
Menurut Ramayulis, pendidik dalam pendidikan islam setidaknya ada empat
macam, yaitu:
1. Allah SWT sebagai pendidik bagi hamba-hamba dan sekalian makhluk-Nya.
2. Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya telah menerima wahyu dari Allah
kemudian bertugas untuk menyampaikan petunjuk-petunjuk yang ada di dalamnya
kepada seluruh manusia.
3. Orang tua sebagai pendidik dalam lingkungan keluarga bagi anak-anaknya.
4. Guru sebagai pendidik di lingkungan pendidikan formal, seperti di sekolah
atau madrasah. Namun pendidik yang lebih banyak dibicarakan dalam pembahasan
ini adalah pendidik dalam bentuk yang keempat.
D.
Tugas Pendidik
Dalam Pendidikan Islam
Menurut al Ghazali, tugas pendidik
yang pertama adalah menyempurnakan, menyucikan, serta membawakan hati manusia
untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT. Hal tersebut kare tujuan
pendidikan islam yang utama adalah untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Jika pendidik belum mampu membiasakan diri dalam peribadatan pada
peserta didiknya maka ia mengalami kegagalan dan tugasnya, sekalipun peserta
didiknya memiliki prestasi akademis yang luar biasa. Hal itu mengandung arti
antara ilmu dan amal shaleh.[3]
Dalam perkembangan berikutnya,
paradigma pendidik tidak hanya bertugas sebagai pengajar, yang mendoktrin
peserta didiknya untuk menguasai seperangkat pengetahuan dan skill tertentu.
Pendidik hanya bertugas sebagai motivator dan fasilitator dalam proses belajar
mengajar. Keaktifan sangat pada peserta didiknya sendiri, sekalipun keaktifan
itu akibat dari motivasi dan pemberian fasilitas dari pendidiknya. Seorang
pendidik di tuntut mampu untuk memainkan peranan dan fungsinya dalam
menjalankan tugas keguruanya.
Hal ini akan menghindari benturan
fungsi dan peranannya, sehingga pendidik bisa menempatkan kepentingan sebagai
individu, anggota masyarakat, warga negara, dan pendidik sendiri. Antara tugas
keguruan dan tugas lainya harus di tempatkan menurut proporsinya.
Kadang kala seseorang terjebak
dengan sebutan pendidik, misalnya ada sebagian orang yang mampu memberikan dan
memindahkan ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) kepada orang lain sudah
dikatakan sebagai pendidik.
Sesungguhnya seorang pendidik
bukanlah bertugas itu saja, tetapi pendidik juga bertanggung jawab atas
pengelolaan (manager of learning), pengarah (director of learnig), fasilitator,
dan perencana (the planner of future society).
Oleh karena itu, fungsi dan tugas
pendidik dalam pendidikan dapat di simpulkan menjadi tiga bagian:
1.
Sebagai
pengajar (instruksional), yang bertugas merencanakan program pengajaran dan
melaksanakan program yang telah disusun serta mengakhiri dengan pelaksanaan
dengan penilaian setelah program di lakukan.
2.
Sebagai
pendidik (educator), yang mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaan dan
kepribadian kamil seiring dengan tujuan Allah SWT menciptakanya.
3.
Sebagai
pemimpin (managerial), yang memimpin, mengendalikan diri sendiri, peserta didik
dan masyarakat yang terkait, terhadap berbagai masalah yang menyangkut upaya
pengarahan, pengawasan, dan pengorganisasian, pengontrolan, dan partisipasi
atas program pendidikan pendidikan yang dilakukan.[4]
Dalam tugas
itu, seorang pendidik di tuntut untuk mempunyai seperangkat prinsip keguruan.
Prinsip keguruan itu dapat berupa:
a)
Kegiatan dan
kesediaan untuk mengajar seperti memperhatikan kesediaan, kemampuan,
pertumbuhan, dan perbedaan peserta didik.
b)
Membangkitkan
gairah peserta didik.
c)
Menumbuhkan
bakat dan sikap peserta didik yang baik.
d)
Mengatur proses
belajar mengajar yang baik.
e)
Memperhatikan
perubahan-perubahan kecenderungan yang mempengaruhi proses mengajar.
f)
Adanya hubungan
manusiawi dalam proses belajar mengajar.[5]
Berdasarkan
tugas-tugasnya pendidik tidak hanya melibatkan kemamapuan kognitif, tetapi juga
kemampuan afektif dan psikomotorik. Profesionalisme pendidik sangat di tentukan
oleh seberapa banyak tugas yang telah di lakukan sekalipun terkadang
profesionalisme itu tidak berimplikasi yang signifikan terhadap penghargaan
yang di perolehnya.
E.
Tanggung Jawab
Pendidik
Sebagai mana disebutkan oleh Abd al-Rahman al-Nahlawi tanggung jawab
pendidik adalah, mendidik individu supaya beriman kepada Allah dan melaksanakan
syariat-Nnya, mendidik diri supaya beramal saleh, dan mendidik masyarakat untuk
saling menasehati dalam melaksanakan kebenaran, saling menasehati agar tabah
dalam menghadapi kesusahan beribadah kepada Allah serta menegakkan kebenaran.
Tanggung jawab itu bukan hanya sebatas tanggung jawab moral seorang pendidik terhadap
peserta didik, akan tetapi lebih jauh dari itu. Karena luasnya ruang lingkup
tanggung jawab pendidikan Islam, maka orang tua memiliki keterbatasan dalam
mendidik anak. Tanggung jawab tersebut diamanahkan kepada pendidik yang berada
di sekolah.
F.
Hak Pendidik.
Pendidik bukan hanya memiliki tugas dan tanggung jawab
yang harus di emban, akan tetapi pendidik juga mempunyai hak-hak, seperti:
1. Memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan
kesejahteraan social.
2. Mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja.
3. Memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan
intelektual.
4. Memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi.
5. Memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk
menunjang kelancaran tugas keprofesionalan.
6. Memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan
kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan
kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan.
7. Memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam menjalankan tugas.
8. Memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi.
9. Memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan.
10. Memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatan kualifikasi
akademik dan kompetensi.
11. Memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam bidangnya.
G.
Kode Etik
Pendidik Dalam Pendidikan Islam
Kode etik ialah norma-norma yang
mengatur hubungan kemanusiaan antara pendidik dan peserta didik, orang tua
peserta didik, serta dengan atasanya. Suatu jabatan yang elayani orang lain
selalu memerlukan kode etik. Demikian jabatan sebagai pendidik wajib mempunyai
kode etik tertentu yang harus di kenal dan dilaksanakan oleh setiap pendidik.
Bentuk kode etik suatu lembaga itu
tidaklah harus sama, tetapi secara intrinsik mempunyai kesamaan konten yang
berlaku umum. Pelanggaran kode etik akan mengurangi nilai dan kewibawaan
identitas pendidik.
Menurut Ibn Jama’ah, yang di kutip
oleh Abd al-Amir Syams al-Din, etika pendidik terbagi atas tiga macam, yaitu:
1.
Etika yang
terkait dengan dirinya sendiri.
Pendidik ini paling tidak memiliki dua etika, yaitu:
a.
Memiliki sifat
keagamaan (diniyyah) yang baik, yang meliputi patuh dan tunduk terhadap syariat
Allah dalam bentuk ucapan dan tindakan, baik yang wajib maupun yang sunnah,
seperti: senantiasa membaca Al-Quran, dzikir kepada-Nya, baik dengan hati
maupun lisan, menjaga prilaku lahir dan bathin.
b.
Memiliki sifat-sifat
akhlak yang mulia, (akhlaqiyyah) serta menghias diri (tahali) dengan memelihara
diri, khusu’, rendah hati, menerima apa adanya, zuhud dan memiliki daya dan
hasrat yang kuat.
2.
Etika terhadap
peserta didiknya. Pendidik
dalam bagian ini paling tidak memiliki dua etika, yaitu:
a.
Sifat-sifat
sopan santun dan beradab (adabiyyah), yang terkait dengan akhlaq yang mulia
seperti diatas.
b.
Sifat-sifat
memudahkan, menyenangkan dan menyelamatkan
(muhniyyah).
3.
Etika dalam proses
belajar mengajar. Juga
mempunyai dua etika, yaitu:
a.
Sifat-sifat
memudahkan, menyenangkan dan menyelamatkan
(muhniyyah).
b.
Sifat-sifat
seni, yaitu seni mengajar yang menyenangkan, sehingga peserta didik tidak
merasa bosan.[6]
Dalam
merumuskan kode etik, al-Ghazali lebih menekankan betapa berat kode etik yang
di perankan seorang pendidik daripad peserta didiknya. Kode etik pendidik
terumuskan sebanyak 17 bagian, sementara kode etik peserta didik hanya 11
bagian, dikarenakan guru dalam hal ini menjadi segala-galanya, yang tidak saja
menyangkut keberhasilanya dalam menjalankan profesi keguruanya, tetapi juaga
tanggung jawab di hadapan Allah SWT kelak.
Adapun kode etik yang di maksud adalah:
a.
Menerima segala
problem peserta didiknya dengan hati dan sikap terbuka dan tabah.
b.
Bersikap
penyantun dan penyayang (QS Ali-Imran: 159).
c.
Menjaga
kewibawaan dan kehormatanya dalam bertindak.
d.
Menghindari dan
menghilangkan sikap angkuh terhadap sesama.
e.
Bersikap rendah
hati ketika menyatu bersama sekelompok masyarakat.
f.
Menghilangkan
aktivitas yang tidak berguana dan sia-sia.
g.
Bersifat lemah
lembut dalam menghadapi peserta didik yang tingkat IQ-nya rendah, serta
membinanya sampai pada taraf maksimal.
h.
Menigngalkan
sifat marah dalam menghadapi problem peserta didiknya.
i.
Memeperbaiki
sifat peserta didiknya dan bersikap lemah lembut terhadap peserta didik yang
kurang lancar bicaranya.
j.
Meninggalkan
sifat yang menakutkan pada peserta didik, terutama pada peserta didik yang
belum mengerti atau mengetahui.
k.
Berusaha
memperhatiakan pertanyaan-pertanyaan peserta didik, walaupun pertanyaanya itu
tidak bermutu dan tidak sesuai dengan masalah yang di ajarkan.
l.
Menerima
kabenaran yang di ajukan oleh peserta didiknya.
m.
Menjadikan
kebenaran sebagai acuan dalam proses pendidikan, walaupun kebenaran itu
datangnya dari peserta didik.
n.
Mencegah dan
mengontrol peserta didik mempelajari ilmu yang membahayakan. (QS Al-Baqarah:
195).
o.
Menanamkan
sifat ikhlas pada peserta didik serta terus-menerus mencari informasi guna
disampaikan pada peserta didik yag akhirnya
mencapai tingkat taqarrub kepada Allah SWT. (QS Al-Bayyinah: 5).
p.
Mencegah
peserta didik mempelajari ilmu fardhu kifayah sebelum mempelajari ilmu fardhu
‘ain.
q.
Mengaktualisasi
informasi yang di ajarkan pada peserta didik.[7]
Dalam bahasa yang berbeda, Muhammad Athiyah Al-Abrasy menentukan
kode etik pendidik dalam pendidikan islam sebagai berikut:
1)
Mempunyai watak
pendidik (orang tua) sebelum menjadi seorang pandidik, sehingga ia menyayangi
peserta didiknya seperti menyayangi anakanya sendiri.
2)
Adanya komunikasi
yang aktif antara pendidik dan peserta didik. Pola komunikasi dalam interaksi
dapat di terapkan ketika terjadi proses belajar mengajar. Pola komunikasi dalam
pendidikan dapat dilakukan dengan tiga macam, yaitu: komunikasi sebagai aksi (intraksi
searah), komunikasi sebagai interaksi (interaksi dua arah) dan komunikasi
sebagai transaksi (interaksi multiarah). Tentunya untuk mewujudkan tujuan
pendidikan islam yang maksimal harus digunakan komunikasi yang transaksi,
sehingga suasana belajar menjadi lebih aktif antara pendidik dan peserta didik,
antara peserta didik dan pendidik, dan antar peserta didik.
3)
Memelihara
kemampuan dan kondisi peserta didiknya. Pemberian materi pelajaran harus diukur
dengan kadar kemampuannya.
4)
Mengetahui
kepentingan bersama, tidak terfokus pada sebagian peserta didik, misalnya hanya
memprioritaskan anak yang ber-IQ tinggi.
5)
Mempunyai sifat
keadilan, kesucian, dan kesempurnaan.
6)
Iklas dalam
menjalankan aktifitasnya, tidak hanya menuntut hal yang diluar kewajibannya.
7)
Dalam mengajar
supaya mengaitkan materi satu dengan materi yang lainnya (menggunakan pola
integrited curriculum)
8)
Memberi bekal
peserta didik dengan ilmu yang mengacu pada masa depan, karena ia tercipta
berbeda dengan zaman yang dialami oleh pendidiknya.
9)
Sehat jasmani dan
rohani serta mempunyai kepribadian yang kuat, tanggung jawab, dan mampu
mengatasi problem peserta didik, serta mempunyai rencana yang matang untuk
menatap masa depan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
Dari pemaparan materi diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa pendidik
adalah komponen yang sangat penting atau komponen utama yang harus ada dalam
sistem pendidikan, karena ia yang mengantrakan peserta didik pada tujuan yang
telah ditentukan, bersama komponen-komponen lain yang terkait. Pendidik
mempunyai kedudukan yang amat mulia, maka dari itu ia dijadikan sosok yang
dapat memberikan contoh bagi peserta didik baik dari tingkah laku, maupun
sifatnya, serta membimbing dan memotivasi anak didiknya agar dapat menyongsong
masa depan yang lebih baik.
B.
Saran
Dari makalah ini dapat kita jadikan sebuah acuan, bahwa kita adalah
calon guru yang nantinya akan mendidik peserta didik. Untuk itu mari kita
bersikap, berprilaku, dan membiasakan bersifat yang baik sesuai dengan yang di
contohkan oleh nabi kita Muhammad SAW sehingga dapat menjadi contoh yang baik
pula bagi anak atau peserta didik kita nantinya.
DAFTAR PUSTAKA
Mujib, Abdul,
dkk. 2010. Ilmu Pendidika Islam. (Jakarta: Kencana)
Tafsir, Ahmad.
1992. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. (Bandung: Remaja
Rosdakarya)
Darajat, Zakiah.
1980. Kepribadian Guru. (Jakarta: Bulan Bintang)
[1]
Ahmad Tafsir, Ilmu
Pendidikan Dalam Perspektif Islam. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992), hal.
74-75
[2] Prof. Dr.
Abdul Mujib, MAg. dkk. Ilmu Pendidika Islam. (Jakarta: Kencana, 2010),
hal. 87.
[3] Prof. Dr. Abdul
Mujib, MAg. dkk. Ilmu Pendidika Islam. (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 90
[4] Prof. Dr. Abdul
Mujib, MAg. dkk. Ilmu Pendidika Islam. (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 91
[5] Zakiah Darajat,
Kepribadian Guru. (Jakarta: Bulan Bintang, 1980). Hal. 22
[6] Prof. Dr. Abdul
Mujib, MAg. dkk. Ilmu Pendidika Islam. (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 98
[7] Prof. Dr. Abdul
Mujib, MAg. dkk. Ilmu Pendidika Islam. (Jakarta: Kencana, 2010), hal.
100
oke oke
BalasHapus